mY !maG!n@t!on

my !mag!nat!on was geTT!ng fresH everyday

Rabu, 07 Januari 2009

Rhytm of The Blue

sLa menggenjreng gitar. Tombol rec dan play minicomp-nya ditekan bareng. Dan terdengarlah Rhytm of the blue. Sebuah petikan gitar yang berbunyi satu persatu. Susul-menyusul, nggak bertabrakan nada satu dengan yang lain.
“Ini aku persembahkan buat HerlambanK yang kemarin mati ditabrak mobil tetangga.” Desisnya.
Mohon maaf, HerlambanK adalah kura-kura kesayangannya, sLa menyayangnya kayak kekasih atawa bintang pujaan. Pagi minum susu, siang makan bubur dan malamnya beberapa potong melon. Kalau pas di kamar sLa muterin lagunya sela “…kau takkan pernah tau apa yang kau miliki hingga nanti kau kehilangan. Maka jangan pernah tinggalkan aku…..” Dan herlambanK manggut-manggut.
Tapi, kematian itu sungguh bikin pilu. Tetangga sebelah itu anak pejabat tinggi kota ini. Mobilnya mahal dan jalannya cepat. Nggak pernah mobil itu membuka dikit aja kaca jendelanya untuk sekedar bersapa. Selalu tertutup, dengan persentase 80 gelap di tiap-tiap kacanya.
“Rhytm of the Blue bakal aku bikin dan aku kirim ke alamat tetangga jahat itu.” Kata sLa.
Memang iramanya menyayat banget. Denting-denting gitar yang dikuasai sLa sejak kecil, mampu bikin hanyut siapa yang ngedengerin. Tapi pada epilude (penutup), sLa ngomong satu baris dengan suara serak: “Habislah sudah kebebasan!”
Rhytm of The Blues direkam rapi jali. Lantas dibungkus dengan kemasan bagus, dan dikirim ke alamat tetangga tadi. Sembari disisipin ucapan :”Kalau berani, temuin aku di mana kamu mau!_sLa”


Sepucuk surat balasan pun tiba. Dalam surat itu tertulis. Rhytm of The Blue kamu bikin haru. Innalilahi wainna ilaihi roji’un, HerlambanK kamu telah tiada. Kapan kita ketemu? Di atas jembatan layang tepian kota Sabtu senja? Oke, anggap aja kita pasti ketemu di sana!”
Kalimat yang nggak kalah ketus. Dengan kalimat pendek-pendek dan seperti menantang. Bagi sLa, meraih sabuk hitam karate nggak sia-sia. Paling nggak untuk ngadepin hal-hal yang kayak begini. Apa salahnya?
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Sembari bersiul, sLa langsung berangkat dengan vespanya ke jalan layang yang ditunggu. Jalan layang kebanggaan kota yang biasa tempat nongkrong remaja kota.
Tapi satu dua menit tepat jam yang dijadwalin, nggak ada tanda-tanda bakal muncul. “Pecundang, pengecut” katanya.
Dan sembari ngedumel, Dila membanting beberapa putung rokok yang habis diisapnya.
“Rhytm of The Blue?” sebuah suara dari belakang. Nadanya sinis tapi lembut di telinga. sLa terhenyak, ditoleh ke belakang dan ia kecewa berat. Seorang cewek mendekat, dengan tatapan mata takut-takut, namun tabah.
“Kamu orang suruhan, ya?”
Sejurus, tatapan mata cewek itu nggak kocak ke sana ke mari. Tetap memandang sLa dengan keberanian yang luar biasa.
“Siapa nama tuan kamu itu?”
“Aku Nana. Aku mewakili diriku sendiri. Seperti Plato dan Aristoteles, aku mewakili teori yang aku tulis sendiri.”
“Aku butuh orang yang menabrak HerlamBanK hingga tempurungnya pecah itu dan otaknya berhamburan.”
“Kalau begitu, akulah yang mungkin membunuhnya.”
“Mobil berwarna merah indah itu?”
“Itu mobil pribadiku. Barangkali, aku nggak pernah tau bahwa selama ini aku berjalan keliru di depan rumah kamu.”
“Nggak menyesal?”
“Ya, untuk kekhilafan itu. Tapi nggak untuk menerima kemarahan kamu. Silahkan, dengan cara apa kamu pengin memarahiku. Aku sudah meminta maaf pada Tuhan, diam-diam telah pula aku minta maaf padamu. Aku juga menangis ketika mendengar rekaman Rhytm of The Blue. Dan aku tersinggung berat tatkala mendengar cacian kamu. Apa kamu tak mencoba bertanya pada dirimu sendiri ato pada arwah herlambanK. Pastinya sekarang dia lebih bahagia. Mati sahid dan masuk surga. Aq mengirimnya ke surga. Kini apa maumu?” ucapnya datar.
Kalimat itu seperti peluru M-16 yang terberondong di tengah kerusuhan masa. Kalimat itu seperti timah yang benar-benar panas, ditengah perasaan yang sesak seperti ini.
sLa nggak bisa ngomong apa-apa. sLa nggak bisa bicara apa-apa. Benarkah itu? sLa bertanya dalam hati..

Surabaya, Februari 05
sLa 
I want freedoom….

Tidak ada komentar:

Pengikut

Kerlap Kerlip Art