mY !maG!n@t!on

my !mag!nat!on was geTT!ng fresH everyday

Rabu, 07 Januari 2009

Cokelat

Cokelat

……………………………………………….………………..


“Sebuah Refleksi Kebebasan”


Sudah batang ke-17 hari ini. Bungkus kedua. Ditariknya asap keparat itu, melesak ke dalam paru-paru. Agak sedikit tenang, tapi otaknya tetap mati. Pikirannya melayang, mengambang, lepas lantaran kepulan asap putih. Pun perih karena gigitan yang terus-menerus di dada. Bandara….
Tiba-tiba Pikiran kotor itu terbetik tatkala ia suntuk itu berlanjut di dalam pesawat. Sepanjang perjalanan Singapura-Jakarta. Sendiri. Karena ortunya udah dulu terbang dari Changi 30 jam lalu.
Sendiri.
Seperti ketika Adam menggelinding ke muka bumi karena ditendang dari sorga,
yang dijumpainya hanya kekosongan.
Tak ada siapa-siapa.
Hanya sepi yang ada.
Dan rasa bersalah…..
Tapi yang membuatnya tambah suntuk... dia tak pernah tau siapa yang pantas dipersalahkan…

“Kamu tidur-tidur aja dulu di rumah Paman Erik. Kami harus cepetan pulang ke Jakarta, karena ada tamu menunggu. Shopping-shopping dululah,” Pesan Papa.
Apa sih yang bisa Joy gerakin kecuali kepalanya yang mengangguk pasrah? Seperti biasa, langsung segepok CC (credit card) dititipin ke Joy. Biasa, sekedar beli burger atawa makan ringan di Jalan Jurong, kawasan ramai tempat tersebut.
Tapi, selalu aja ada perjalanan yang seolah sendiri. Senyap, terbang mengawang, dan hampa.

Bagi cowok ini, sepanjang penerbangan paling menarik adalah tatkala pramugari menggelar in flight shop. Sebuah habit yang selalu diulang-ulang adalah memungut sebatang van Houten untuk oleh-oleh Tio adiknya.
“Suka cokelat ya?” tegur si Pramugari.
Joy menggeleng. “Tapi itu bukan berarti aku ngga sering beli,” ketus jawab Joy.
“Lo, kalo gitu buat apa beli?”
“Ah, aku terbiasa nyingkirin kepuasanku sendiri untuk hepi orang lain.” Jawabnya.
“Oo,” si Mbak cantik itu nggak berkata apa-apa lagi.


Joy suka syair ini.
Joy merasakan ada pembebasan suasana dalam lirik itu.
“Hidup ngga ada sekat, ngga ada tekanan kayak terjun bebas. Hidup serasa manis, kayak mengulum cokelat,” jelasnya sama teman-teman.
Tapi perasaan hampa itu sebenarnya merupakan proses pengalihan. Joy sedang merasa hidup seorang diri. “Hidup di lingkungan ramai yang sunyi sekali,” katanya mengeluh. Dia bahkan tak pernah mengerti arti hidup.
“Joy, Joy! Gue nggak percaya orang seperti kamu merasa sangat kesepian! Arti hidup kan bisa dibeli dengan uang?” ledek Miko, teman sekelasnya.
Curhat Joy selalu jadi bahan olokan. Soalnya Joy ‘gondrong’ yang suka nekat ini lebih nampak seperti manusia tanpa masalah.

Siang yang terik, ketika Joy masuk di pesawat yang beberapa kali ia tumpangi sebelumnya, seorang pramugari menegur ramah.
“Eh, kamu yang kemarin dari Singapura, ya?”

“Akan balik lagi ke sana.”
“Berapa lama?”
“Ntar malem kali, aku pasti balik lagi ke Jakarta.”
“Bisnis besar, ya?”
“Masak anak semester 2 bisa?”
“Lo?”
“Sederhana kok, Mbak. Aku pengen terjun bebas.” Kali ini dia menjawab pertanyaan pramugari itu dengan senyum tengilnya.
Si Pramugari terkekeh, merasa itu sebuah olokan yang nggak perlu ditanggapi berkepanjangan.
Tetapi ketika pesawat mulai naik di ketinggian dan suara gaduh di kokpit pesawat mengganggu penumpang, pramugari itu mulai terbengong. Dengan granat di tangan, Joy mengancam pilot dengan suara lantang. “Buka satu pintu dan aku akan terjun bebas!”
Siapa sih Joy ini? Doi adalah sedikit dari generasi yang lahir dari orde selebor. Kukuh di luar, remuk redam di dalam. Inikah refleksi kebebasan? Kebebasan berpikir?? Terlalu gila untuk orang-orang yang suka tantangan, terlalu biasa untuk orang-orang yang tak pernah mengerti arti hidup. Apa boleh buat, ngga bisa apa-apa kan kita nolongnya?



Surabaya, Mei 2004
Sla ‘04

Tidak ada komentar:

Pengikut

Kerlap Kerlip Art