mY !maG!n@t!on

my !mag!nat!on was geTT!ng fresH everyday

Rabu, 07 Januari 2009

Cuaca

Ada suatu saat bahwa cuaca sangat mempengaruhi perasaan manusia. Panas bergerak secara tidak tampak di dalam ruang, merambat dengan garis lurus dan dapat dipantulkan.
Saat terik matahari, Parmin tak pernah mengeluh. 40 tahun tinggal di dunia telah mengajarinya berkawan dengan cuaca. Cuaca bumi dapat dikatakan dimulai pada lingkaran tengah bumi. Kerap kali peramal cuaca sekalipun tidak mengetahui yang mana akan menang.
....kali ini pun sepertinya tidak.

Langit telah lelah menangis. Hujan pun reda. Tapi kini langit telah menjelma menjadi malam yang gelap. Parmin belum bisa memejamkan matanya. Bukan lantaran kedinginan yang telah biasa dialaminya seperti hari-harinya yang telah berlalu, tanpa rumah dan tanpa perbekalan apa pun. Sesal masih saja menggelayut di hatinya. Andai saja dia mampu membaca alam. Andai saja Parmin mampu menerima sinyal-sinyal yang diberikan Tuhan, pasti barang dagangannya tak akan kehujanan.
Parmin menatap kerupuk sarmier yang telah basah. Angannya melambung ke Desa, tempat sarmier itu di buat. Mimin, anaknya telah membuatnya dengan pengorbanan yang tak main-main.
“Jam segini kok belum tidur, nduk?”
“Ndak, pa pa Pak nanggung gorengnya, biar bisa jadi banyak. Nanti kalo laku semua, Rp.100 kali banyak kan lumayan Pak.”
Tapi apa kamu besok ga sekolah?
Ya sekolah Pak, wong besok ada ulangan. Tapi jangan kuatir Pak, saya sudah siap kok Pak. Nanti saja tidur 1 jam habis subuhan pasti cukup kok.
Ya sudah kalau begitu. Biar besok bapak jual. Doa kan saja laku semua biar kamu nggak nunggak lagi bayar SPPnya.
Mimin Cuma mengangguk penuh harap.

Parmin kembali menatap sarmier basah. Ini apa bisa jadi uang? Batinnya sesak. Sudah seminggu Parmin tidak pulang. Parmin tidak kuasa membiarkan anaknya kecewa melihat dagangannya belum habis. Tak terasa, perjalanannya dari kereta ke kereta telah mengantarkannya dari desanya Solo ke kota Surabaya. Apa yang didapat dari ketegarannya?
Apakah aneh, sekadar menjalani hidup yang diberikan Tuhan ini dengan harapan? Karena yang banyak terlihat hanyalah kekecewaan yang mendera.

Panggung Sandiwara

Setelah dipaksa oleh Rahwana dan melihat semua peloton sudah dekat, keduanya memusatkan pikiran. Saat itu diprediksi bahwa Rahwana akan menang. Dan akhirnya Rama memutuskan untuk melakukan tiwikrama, mengubah dirinya menjadi Bethara Wishnu. Untuk beberapa saat Rahwana dan seluruh penonton tidak berkata apa-apa, kagum dengan sesuatu yang aneh dan hebat, muncul dengan tiba-tiba. Namun kemudian para prajurit bingung. Rama sendiri juga terkejut dan bingung ketika Rahwana memberikan naskah seperti akan menuntut sesuatu, yang tak jelas.
Lalu kemudian, tanpa persetujuan Rama, Rahwana mengakhiri perang. Banyak prajurit mengomel, protes dengan ide gila Rahwana karena mereka pikir bahwa sebenarnya peperangan akan berlangsung sangat lama dan sangat seru.
Rahwana hanya melemparkan senjatanya, sementara Rama yang ada di sampingnya hanya memandang dengan heran dan bingung sambil mengerutkan dahi. “Apa yang terjadi denganmu? Ayo bangun! Lanjutkan pertarungan kita!” Rama berteriak.
Rahwana menggeleng. “Kita tidak perlu lagi melanjutkan pertarungan! Kamu curang!”
Rama mengerutkan dahi lagi. Bingung. “Apa yang salah?”
“ Ini tidak adil.” Rahwana berteriak sembari menampakkan wajah kekecewaan.
“Kenapa?”
“Kamu melakukan Tiwikrama!” Rahwana mengambil nafas dalam. Untuk beberapa saat dia terhenti, kemudian melanjutkan bicaranya. “Kamu sendiri pasti tahu, bahwa tanpa melakukan tiwikrama pun, kamu selalu jadi pemenang. Ini sudah digariskan. Jadi, aku pikir kamu akan selalu menang dalam pertarungan ini, pasti….”
“ Ini bukan kamu Rahwana. Rahwana tak akan se-pesimis ini. Apa kamu tidak melihat bahwa sekarang kamu hampir menaklukkanku?.”
“ Mungkin! Tapi belum dan sepertinya tidak akan pernah. Karena kamu akan selalu jadi pemenang. Ini tidak akan pernah berubah. Aku sekarang benar-benar bosan. Walaupun aku mencoba untuk menciptakan cara baru dalam pertarungan ini, aku akan selalu jadi yang kalah. I hate u Rama, Bulshit, Fuck u !!!!
“Apa aku perlu mengemis maafmu? Baguslah. Jika seperti itu” Rama menggaruk rambutnya “ Kenapa kamu selalu manyakiti yang lain?.”
“ Ini peranku! Apa kamu pikir ini keinginanku? Kau tahu, aku tidak pernah punya pilihan! Segalanya diberikan untukku secara sementara. Tidak kekal seperti yang diberikan untukmu.”
“ Jika kamu memang sadar kalau itu peranmu, kenapa kamu komplain?”
“ Aku tidak tahu….tapi aku pikir, aku perlu ganti nama.”
Rama tertawa. Mungkin dia merasa sedikit senang dengan pernyataan Rahwana. “Lalu bagaimana sekarang? Apa kita akan melanjutkan pertarungan kita kembali? Jika kamu menolak, kembalikan Sinta padaku. “
Rahwana tenggelam dalam kesunyian untuk beberapa detik. “ Baiklah kalau begitu, kamu boleh membawanya pergi, tapi lepaskan aku. Aku hanya ingin pergi dan menghilang……”
“Kemana?”
“Kemana pun aku pergi, itu bukan urusanmu!”
“Rama meringis dan tersenyum lebar tanda setuju. Dia komat kamit mengucapkan sesuatu. Dan kemudian untuk beberapa detik dia melancarkan ilmu gingkang-nya dan menghalangi jalan Rahwana.
Rahwana marah dan berang, “ Terkutuk kau! Kamu bilang jika aku mengembalikan sinta padamu, kamu tidak akan menggangguku lagi.
“Maaf Rahwana,” Rama berbicara dengan kasar “ Aku hanya ingin tahu kemana kamu pergi. Aku tidak ingin kalah lagi darimu…..”
“Kenapa?”
Rahwana tertawa kecil dan tertekan. Tiba-tiba satu sampai seratus detik Rama merubah dirinya menjadi Wisnu dan tiba-tiba dia menganggkat tangannya yang penuh dengan gumpalan sinar cahaya, ditujukan untuk melawan dada Rahwana. Tidak ada yang Rahwana lakukan. Di dadanya, muncul luka tembakan yang sangat dalam. Rahwana mati tanpa memejamkan matanya.
Rama hanya berdiri. Dia hanya berdiri tanpa berkata apa-apa. Begitu pula seluruh pasukan. Rama dengan cepat merubah dirinya lagi. Dia memandang matahari terbenam, yang mulai menyanyikan lagu kesendirian. Tidak ada yang tahu keberadaan Rahwana. Jika Rahwana tidak ada, mungkin Rama juga tidak ada. Memang semuanya tampak begitu buram dan diragukan. Tapi sesuatu tampak jelas bahwa Rahwana pasti dibunuh Rama. Rama akan selalu ada dan ada. Rahwana sudah dibunuh oleh Rama dan tidak akan lari ke dunia lain. Dan Rama akan selalu ada. Di manapun, kapan pun dan pada saat yang lain.
OOOO

sL terbangun dari tidurnya. Jam weker di sampingnya berbunyi memaksanya untuk bangun. sLa memaksa membuka matanya, tapi sekelilingnya masih nampak buram. sLa mencoba bangkit dan mengucek-ucek matanya, tapi memori di otaknya masih full terisi oleh mimpinya barusan. Mimpi yang aneh gumamnya.

sLa tak habis pikir kenapa Rama tak mau mendengar penyesalan / tobat Rahwana. Mengapa kepercayaan itu begitu mahal. Namun sLa kembali teringat sesuatu. Tapi Mungkin saja itu hanya taktik Rahwana yang licik Memang sesuatu di dunia ini diciptakan secara berpasang-pasangan. Laki perempuan. Baik buruk. Saling melengkapi dan saling meniadakan.

Mungkin bayangan pertunjukan drama Bali kemarin pagi masih begitu terkesan, hingga mengikutinya sampai masuk ke mimpi. Tiba-tiba memori sLa seperti kembali ke suasana pertunjukan pagi itu. Sebenarnya ceritanya tidak begitu menarik, apalagi suasana waktu itu hujan. Cuma sLa merasa tertarik dengan percakapan Oka, guide-nya, yang baru dikenalnya beberapa hari ini
“Kamu pengen jadi pemeran apa dalam drama itu?” Oka bertanya pada Yume
“Ehm, Rama…Sinta….ato Rahwana juga boleh.” sLa berpikir keras.
“Kenapa?” Oka bertanya. Datar
“Kenapa? Yang jelas aku nggak mau kalo cuma jadi sekedar peloton ato prajurit..”
“Oooo” Oka berkomentar singkat.
“Kalo kamu, Oka?”
“Mungkin orang di balik layar.”
“Kenapa?” sLa penasaran
“Hmm…” Oka tertawa kecil, seakan tahu tanda tanya besar tengah menggelayut di benak sLa. “ Aku lebih memilih “tidak mau diremehkan” ketimbang “dianggap hebat”.
“Maksudmu?” sLa masih bingung.
“ Dia ada, meskipun orang lain tidak mengenalnya. Tapi begitu dia tidak ada maka orang lain akan merasa kehilangan.” Oka menatap lekat wajah sLa, mencoba menanamkan sesuatu. ”Bahkan aku bisa pegang kendali pertunjukan ini!”
sLa berpikir keras. Tapi akhirnya dia berkata lirih “ya aku tahu”.

sLa menatap cermin....
menatap wajahnya.....
sLa Cuma ingin mengerjakan segala sesuatu secara totalitas, tapi orang lebih suka menganggapnya sebagai perfectionis.
sLa lebih suka dianggap sebagai pemikir ketimbang perasa. Segala sesuatu musti dipikir matang-matang . Sebab belum tentu kesempatan muncul dua kali atau lebih. Sebab hidup Cuma sekali. Jadi segala sesuatu dalam hidup ini musti dipersiapkan baik-baik..
Kesalahan sLa terbesar adalah dia dilahirkan dengan sifat yang ”tidak terlalu suka basa-basi”. Baginya berbicara itu seperlunya saja. Yang penting-penting aja. Kesalahan penulisan bisa di tipe-eX tapi tidak untuk kesalahan ngomong. Atas dasar pemikiran tersebut sLa malah dicap sebagai seorang yang ”Jaim”
sLa beranggapan bahwa mempertahankan adalah lebih sulit ketimbang mendapatkan, karena barang yang sudah dibuang tidak bisa diambil lagi. Hasilnya orang lebih suka menganggapnya posesive

sLa menatap cermin.......
menatap wajahnya!
ini Gue dengan segala yang ada.
Loe peduli
Thanks
……sesukaku……….” Oka tersenyum misterius
Yume hanya memandang lekat wajah Oka dengan penuh tanda tanya.


Surabaya, Mei 05
sL@ Chuakev

Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata ato tragedi dari Yunani

Ada peran jahat dan ada ……
Mengapa kita bersandiwara..

Bayangan

Andri memejam-mejamkan matanya beberapa kali sembari melindungi matanya dengan tangannya. Tidurnya kali ini terasa nyenyak, kalau saja sinar matahari tak memaksa menerobos masuk melalui sisi celah jendela yang tak terbalut tirai. Untuk beberapa saat Andri membutuhkan waktu beberapa menit untuk bisa membuka matanya lebar-lebar dan menyesuaikan diri di ruang kamar yang serba biru dan kilauan cahaya yang sangat menyilaukan pandangannya. Kini matanya telah terbuka lebar-lebar, lukisan yang tergantung di dinding, menghadap tempat tidurnya memaksanya untuk membuka mata lebar-lebar.
Pertama kali Andri datang ke ruang berbentuk segilima bernuansa biru itu, langkah kakinya tiba-tiba saja terpaku dengan lukisan yang tergantung rapi menghadap tempat tidurnya. “Menarik….” Cuma satu kata itu yang keluar dari mulutnya.
Untuk kesekian kalinya Andri kembali memandangi lukisan itu dengan tak bergeming sedikit pun. Rasa kantuk yang menerpanya tiba-tiba hilang seketika itu juga. Ia kembali memandangi wajah yang ada dalam segiempat dua dimensi di depannya. Lukisan wanita dengan gaun putih kebiru-biruan.
Kali ini Andri kembali memaksa tubuhnya, memaksa dirinya sendiri untuk bangun, meninggalkan ranjang empuknya. Hari ini juga...!! tekadnya sudah bulat.
****

Siang itu begitu panas, Andri menyekat peluh di keningnya. Keringatnya mulai membasahi kemeja birunya. Setiap sudut kota Bali, sudah dikunjunginya, namun pencariannya tak kunjung usai. Seharian penuh waktu liburnya telah dihabiskannya untuk mencarinya...mencari seseorang, seseorang yang amat penting, seseorang didunia maya, seseorang yang membuatnya berdecak kagum, seseorang yang membuatnya penasaran, seseorang yang tak dikenalnya sedikitpun....

****

Banyak orang menjual lukisan yang indah. Ada lukisan salju bak Chesnut Trees at Louveriennes Camille” atupun The maggpie milik Monet. Lukisan pemandangan, sebuah pohon yang misterius “Antibes” , danau yang indah “The pond at Montegeron” ataupun lukisan bak “blue waterlilies” semuanya ada.
Lukisan seorang wanita membawa payung “woman with a parasol” di sudut itu kembali membuatnya bersemangat, mengumpulkan asanya yang mulai pudar. Cantik….. Tapi bukan itu, bukan itu yang dia cari. Masih melekat jelas di benak Andri, wanita dalam lukisan di kamarnya itu. Bahkan setiap lekuk-lekuk wajah wanita itu dia masih mengingatnya. Wanita itu begitu menarik...ekspresinya, anggun, dan...oh tidak dia bahkan tak bisa mengungkapkan keindahan itu dengan kata-kata.

*****

Beberapa hari ini, tidurnya terasa tak nyenyak. Setiap dia terbangun, pertanyaan itu selalu menyerbunya, mengepungnya, membuat dadanya sesak. Siapa?siapa?siapa.... wanita itu. Siapa??? Wanita dengan gaun putih kebiru-biruan, membawa sebuah selendang di tangannya, bukannn.......membawa keranjang? Atau membawa bunga? Entahlah....wanita itu. Siapa wanita itu? Siapa? Wanita yang membuatnya penasaran, wanita yang membuat tidurnya tak pernah nyenyak, wanita itu nyaris membuatnya gila....

****
Andri masih berkeliling-keliling di setiap sudut kota Bali. Dengan sedan merahnya dia melaju kencang menuju setiap sudut lukisan di pulau Dewata. Secercah harapan mulai menyinarinya, ketika dia menemukan penjaja lukisan di pinggir jalan mempunyai koleksi lukisan dengan pelukis yang sama dengan lukisan dalam dinding kamarnya. IBOS 90’. Cuma tahunnya yang berbeda.
Dengan serta merta Andri mengintrogasi pedagang lukisan itu, menghujaninya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
“Pak, apa ada lukisan karya IBOS, selain ini?”
“Tidak ada, hanya satu ini saja.”
“Dimana saya bisa menemukan pelukis ini?”
“Entahlah Nak, lukisan ini sudah lama. Lihatlah, bahkan sudah berdebu.”
“Tolonglah, Pak, ingat-ingat kembali bagaimana bapak mendapatkan lukisan ini? Tolonglah Pak!”
“ Yang bapak ingat, bapak mendapatkan lukisan ini dari Pedagang lukisan di jalan X no V, lukisan itu dijual murah, karena sudah lama tidak laku. Karena ada barang murah, ya Bapak beli.”
“Terima kasih Pak, atas informasinya! Berapa harga lukisan ini Pak?”
Pedagang tua itu menyebutkan sejumlah uang. Andri mengeluarkan segepok uang dari dompetnya, yang jelas-jelas jumlahnya berlebihan.
“Nak, ini terlalu banyak!”
“Sudahlah, itu untuk bapak. Terimakasih atas informasinya.”

****

“IBOS?” tanya seorang pedagang lukisan terkemuka dengan kulit hitam dan usia yang tidak muda lagi.
“Yah IBOS!” jawab Andri pasti.
“Tidak ada.”
“Tapi, seorang penjaja lukisan di pinggir jalan mengaku membeli lukisan itu dari Bapak. Tolonglah Pak, ini sangat penting, seberharga nyawa saya. Saya akan membeli berapa pun harga lukisan itu.”
“Tidak ada. Di sini hanya menjual lukisan dari orang-orang terkenal saja. tapi kalau kau memaksa, aku akan mencarikannya untukmu.”
Bapak Tua itu masuk ke salah satu ruangan berdebu, memeriksa daftar-daftar, lukisan dan nama pelukis yang pernah singgah di galerinya.
“Hmmm, IBOS ? Ada, tapi lukisan yang kujual itu sudah lama tahun 1987. Aku bahkan sudah lupa bagaimana wajah orang yang menjualnya padaku.”
“ Apa tidak ada alamat pelukis itu?”
“ Hmm, a...ada, tapi ini sudah lama anak muda, mungkin dia sudah pindah, atau bahkan sudah mati…!”
“Tak apa-apa, aku akan mencoba mencarinya...
Pak Tua itu memberikan secarik kertas kecil. Alamat si pelukis “wanita” di dinding kamar Andri.
Bali telah gelap itu tandanya hari telah malam. Tubuh Andri sudah mulai capek, otaknya juga sudah mulai lelah. Pencarian ini akan dilanjutkan esok pagi.
Bali telah gelap, itu tandanya hari telah malam.
Bali di malam hari.
Misterius.

***

Seorang lelaki sedang melukis di bawah salah satu pohon beringin yang dilihat dari ukurannya sudah tua. Andri nampak berjalan ragu mendekati lelaki itu.
“Selamat pagi” Andri memberanikan diri menyapa lelaki itu
Namun tak ada jawaban dari lelaki itu. “Selamat Pagi” Andri kembali mengulang kata-katanya, mempertegas suaranya, kuatir orang di depannya tidak mendengar suaranya. Masih belum terdengar jawaban. Hening. “Selamat Pagi.” Kali ini dengan suara yang lantang dan keras. Orang yang disapa itu hanya menolehkan kepala sejenak, lalu kembali menekuni lukisannya. Andri tak habis pikir.
Andri mendekat ke sisi pelukis itu “Apa kau tahu seseorang dengan nama IBOS ?” Pelukis itu diam dan masih asyik dengan lukisannya, seolah tak mendengar kata-kata Andri. Andri mengamati lukisan di depannya itu, hampir jadi. Apa kau mengenal IBOS?” Andri kembali memperjelas kata-katanya kali ini dengan suara yang halus. Andri menggelengkan kepala, seolah dia tak percaya, pelukis itu tak bisa mendengar kata-katanya. ...Atau mungkin kau sendiri yang bernama IBOS?” Pelukis itu diam tak berekspresi. “Pasti kau yang bernama IBOS bukan? Iya kan!” Andri berkata lantang, emosinya sudah memuncak.
Pelukis itu memang tidak tuli. Dia menatap Andri sejenak, namun kemudian dia kembali menyelesaikan lukisannya. “Ada perlu apa?” Pelukis itu berkata dengan nada datar. Andri sempat menatap wajah pelukis itu dari depan beberapa saat, usianya tidak terlalu tua, mungkin seumuran dia, atau mungkin lebih muda dari dia. Tapi pakaiannya yang lusuh dan wajahnya yang kotor dan ditumbuhi banyak rambut, membuatnya kelihatan jauh lebih tua dari umur sebenarnya. “Jadi benar kau IBOS?” batin Andri mulai lega.
Ekspresinya masih datar, tapi seolah membenarkan pertanyaan Andri. Pelukis itu masih asyik menyelesaikan lukisannya.
“Aku hanya ingin melihat-lihat lukisanmu...!
Pelukis itu seolah tak mempedulikan kata-kata Andri. Andri mengamati goresan warna pada kanvas putih. Sejenak hening. ”Apa maknanya?” Andri mencoba membuka percakapan. “Apa yang ada dipikiranmu?”orang itu balik bertanya pada Andri. Andri mencoba mengamati sekali lagi lukisan di depannya..dan mulai menebak-nebak apa yang dilihatnya.
...Aku tidak tahu tentang seni sedikitpun, tapi menurutku, para seniman itu seharusnya melukis sesuatu yang indah-indah saja, karena sudah terlalu banyak hal yang buruk di dunia ini.” Andri mencoba memecahkan keheningan.
Agak lama, namun jawaban dari IBOS keluar juga “mungkin kau benar!Tapi tidak semua... ” seolah tahu kebingungan Andri, IBOS melanjutkan kalimatnya ”...kadang kita perlu tahu...”
Untuk beberapa saat keduanya terdiam, terbawa oleh perasaan masing-masing. Namun kemudian Andri kembali membuka pembicaraan
“Apa aku bisa bertemu dengan wanita gaun putih yang ada dalam salah satu lukisan yang pernah kau buat ?”
Pelukis itu menatap dalam Andri, ekspresinya menampakkan kaget. Dia ingat betul lukisan itu, satu-satunya lukisan wanita...wanita yang amat dia kenal.
“Tidak bisa” jawabnya singkat, seolah enggan menjawab Andri.
“Tapi kenapa?” Ucap Andri mulai gusar.
“Tidak bisa.” Pelukis itu membereskan peralatannya, ingin menhindar dari Andri.
“Tapi kenapa? Beri aku alasan yang jelas! Aku hanya ingin bertemu saja! Percayalah.
“Tidak bisa, tahu kah kamu sudah menggangguku!” Pelukis itu meninggalkan Andri menuju kesebuah jalan sempit menuju sebuah rumah yang sederhana terbuat dari bambu menghindar dari Andri.
Andri terpaku sesaat, tapi kemudian dia sadar, pencariannya bakal usai, pencarian yang sangat lama ini akan segera usai. Andri mengejar pelukis itu, mencoba mencari jalan keluar.
“IBOS, IBOS!!!” Andri menarik tangan pelukis itu. “Atau begini saja, kau buat lukisan yang serupa gadis itu, lalu lukisanmu akan kubeli, berapa pun harganya!”
“Tidak bisa!”
“Kumohon, aku akan membayarmu berapun juga! Bagaimana kalau X juta!” tdak ada jawaban, pelukis itu tetap meneruskan langkahnya.
“XX juta, XXX juta, XXXX juta! Kumohon!!!” tetap tak ada jawaban. Andri benar-benar menampakkan kegelisahannya lebih tepatnya keputusasaan... ”Bagaimana kalo dengan nyawaku?Kumohon.....!!!”
Pelukis itu menghentikan langkahnya, seolah iba tapi ragu. “ Baiklah kalau itu maumu! Tapi asal kau tahu saja, aku tidak melukis untuk uang.”
“Terima kasih, terimakasih! Kapan lukisan itu bisa kuambil?”
“ Beri aku waktu 3 hari untuk menyelesaikan lukisan itu!”
“Baiklah! Tapi tunggu sebentar, beri aku harga jadi, biar aku bisa menyiapkan uangnya.” Pelukis itu menuliskan sesuatu dan menyerahkan selembar kertas itu kepada Andri.

****
Andri kembali melesat cepat dengan sedan merahnya. Menyusuri jalan tak berujung, jalan yang panjang, jalan penuh liku, gelap,....yang nyaris membuatnya gila menuju satu titik cahaya terang.
Kali ini, Andri bisa pulang dengan segurat senyum keoptimisan. Tapi kemudian Ia mulai sadar, pencariannya belum usai. Ia belum menemukan siapa wanita itu. Mobilnya kembali memutar, kembali...ke tujuan semula

****

Di suatu malam, bayangan hitam sedang mengintip di celah-celah dinding. Mengintip seorang pelukis yang hendak menumpahkan ekspresinya. Ida Bagus Oka Shuu, nama yang tertulis di dalam secarik kertas, bersama tanda jadi harga. Laki-laki itu mengambil sebuah kotak dan cermin. Dia mulai membersihkan rambut-rambut yang menutupi wajahnya. Membersihkan wajahnya dengan pembersih. Menyisir rambutnya yang panjang, membuka kotak itu, mengambil sesuatu didalamnya. Sebuah bedak, disaputkan keseluruh mukanya, lipstik, pensil alis...kini Pelukis itu mengganti pakaiannya dengan gaun putih kebiru-biruan.....pelukis itu mulai melukis di atas kanvas, sesekali mengamati wajahnya dalam cermin, kemudian meneruskan lukisannya, menatap cermin, melukis kembali, menatap cermin, melukis kembali dan....
Sesososk hitam itu mulai lemas, asanya telah pudar..
Belakangan baru dia tahu apa yang dibawa “wanita” dalam lukisan di dinding kamarnya....





Uslah
Des’ 03

Rhytm of The Blue

sLa menggenjreng gitar. Tombol rec dan play minicomp-nya ditekan bareng. Dan terdengarlah Rhytm of the blue. Sebuah petikan gitar yang berbunyi satu persatu. Susul-menyusul, nggak bertabrakan nada satu dengan yang lain.
“Ini aku persembahkan buat HerlambanK yang kemarin mati ditabrak mobil tetangga.” Desisnya.
Mohon maaf, HerlambanK adalah kura-kura kesayangannya, sLa menyayangnya kayak kekasih atawa bintang pujaan. Pagi minum susu, siang makan bubur dan malamnya beberapa potong melon. Kalau pas di kamar sLa muterin lagunya sela “…kau takkan pernah tau apa yang kau miliki hingga nanti kau kehilangan. Maka jangan pernah tinggalkan aku…..” Dan herlambanK manggut-manggut.
Tapi, kematian itu sungguh bikin pilu. Tetangga sebelah itu anak pejabat tinggi kota ini. Mobilnya mahal dan jalannya cepat. Nggak pernah mobil itu membuka dikit aja kaca jendelanya untuk sekedar bersapa. Selalu tertutup, dengan persentase 80 gelap di tiap-tiap kacanya.
“Rhytm of the Blue bakal aku bikin dan aku kirim ke alamat tetangga jahat itu.” Kata sLa.
Memang iramanya menyayat banget. Denting-denting gitar yang dikuasai sLa sejak kecil, mampu bikin hanyut siapa yang ngedengerin. Tapi pada epilude (penutup), sLa ngomong satu baris dengan suara serak: “Habislah sudah kebebasan!”
Rhytm of The Blues direkam rapi jali. Lantas dibungkus dengan kemasan bagus, dan dikirim ke alamat tetangga tadi. Sembari disisipin ucapan :”Kalau berani, temuin aku di mana kamu mau!_sLa”


Sepucuk surat balasan pun tiba. Dalam surat itu tertulis. Rhytm of The Blue kamu bikin haru. Innalilahi wainna ilaihi roji’un, HerlambanK kamu telah tiada. Kapan kita ketemu? Di atas jembatan layang tepian kota Sabtu senja? Oke, anggap aja kita pasti ketemu di sana!”
Kalimat yang nggak kalah ketus. Dengan kalimat pendek-pendek dan seperti menantang. Bagi sLa, meraih sabuk hitam karate nggak sia-sia. Paling nggak untuk ngadepin hal-hal yang kayak begini. Apa salahnya?
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Sembari bersiul, sLa langsung berangkat dengan vespanya ke jalan layang yang ditunggu. Jalan layang kebanggaan kota yang biasa tempat nongkrong remaja kota.
Tapi satu dua menit tepat jam yang dijadwalin, nggak ada tanda-tanda bakal muncul. “Pecundang, pengecut” katanya.
Dan sembari ngedumel, Dila membanting beberapa putung rokok yang habis diisapnya.
“Rhytm of The Blue?” sebuah suara dari belakang. Nadanya sinis tapi lembut di telinga. sLa terhenyak, ditoleh ke belakang dan ia kecewa berat. Seorang cewek mendekat, dengan tatapan mata takut-takut, namun tabah.
“Kamu orang suruhan, ya?”
Sejurus, tatapan mata cewek itu nggak kocak ke sana ke mari. Tetap memandang sLa dengan keberanian yang luar biasa.
“Siapa nama tuan kamu itu?”
“Aku Nana. Aku mewakili diriku sendiri. Seperti Plato dan Aristoteles, aku mewakili teori yang aku tulis sendiri.”
“Aku butuh orang yang menabrak HerlamBanK hingga tempurungnya pecah itu dan otaknya berhamburan.”
“Kalau begitu, akulah yang mungkin membunuhnya.”
“Mobil berwarna merah indah itu?”
“Itu mobil pribadiku. Barangkali, aku nggak pernah tau bahwa selama ini aku berjalan keliru di depan rumah kamu.”
“Nggak menyesal?”
“Ya, untuk kekhilafan itu. Tapi nggak untuk menerima kemarahan kamu. Silahkan, dengan cara apa kamu pengin memarahiku. Aku sudah meminta maaf pada Tuhan, diam-diam telah pula aku minta maaf padamu. Aku juga menangis ketika mendengar rekaman Rhytm of The Blue. Dan aku tersinggung berat tatkala mendengar cacian kamu. Apa kamu tak mencoba bertanya pada dirimu sendiri ato pada arwah herlambanK. Pastinya sekarang dia lebih bahagia. Mati sahid dan masuk surga. Aq mengirimnya ke surga. Kini apa maumu?” ucapnya datar.
Kalimat itu seperti peluru M-16 yang terberondong di tengah kerusuhan masa. Kalimat itu seperti timah yang benar-benar panas, ditengah perasaan yang sesak seperti ini.
sLa nggak bisa ngomong apa-apa. sLa nggak bisa bicara apa-apa. Benarkah itu? sLa bertanya dalam hati..

Surabaya, Februari 05
sLa 
I want freedoom….

Cokelat

Cokelat

……………………………………………….………………..


“Sebuah Refleksi Kebebasan”


Sudah batang ke-17 hari ini. Bungkus kedua. Ditariknya asap keparat itu, melesak ke dalam paru-paru. Agak sedikit tenang, tapi otaknya tetap mati. Pikirannya melayang, mengambang, lepas lantaran kepulan asap putih. Pun perih karena gigitan yang terus-menerus di dada. Bandara….
Tiba-tiba Pikiran kotor itu terbetik tatkala ia suntuk itu berlanjut di dalam pesawat. Sepanjang perjalanan Singapura-Jakarta. Sendiri. Karena ortunya udah dulu terbang dari Changi 30 jam lalu.
Sendiri.
Seperti ketika Adam menggelinding ke muka bumi karena ditendang dari sorga,
yang dijumpainya hanya kekosongan.
Tak ada siapa-siapa.
Hanya sepi yang ada.
Dan rasa bersalah…..
Tapi yang membuatnya tambah suntuk... dia tak pernah tau siapa yang pantas dipersalahkan…

“Kamu tidur-tidur aja dulu di rumah Paman Erik. Kami harus cepetan pulang ke Jakarta, karena ada tamu menunggu. Shopping-shopping dululah,” Pesan Papa.
Apa sih yang bisa Joy gerakin kecuali kepalanya yang mengangguk pasrah? Seperti biasa, langsung segepok CC (credit card) dititipin ke Joy. Biasa, sekedar beli burger atawa makan ringan di Jalan Jurong, kawasan ramai tempat tersebut.
Tapi, selalu aja ada perjalanan yang seolah sendiri. Senyap, terbang mengawang, dan hampa.

Bagi cowok ini, sepanjang penerbangan paling menarik adalah tatkala pramugari menggelar in flight shop. Sebuah habit yang selalu diulang-ulang adalah memungut sebatang van Houten untuk oleh-oleh Tio adiknya.
“Suka cokelat ya?” tegur si Pramugari.
Joy menggeleng. “Tapi itu bukan berarti aku ngga sering beli,” ketus jawab Joy.
“Lo, kalo gitu buat apa beli?”
“Ah, aku terbiasa nyingkirin kepuasanku sendiri untuk hepi orang lain.” Jawabnya.
“Oo,” si Mbak cantik itu nggak berkata apa-apa lagi.


Joy suka syair ini.
Joy merasakan ada pembebasan suasana dalam lirik itu.
“Hidup ngga ada sekat, ngga ada tekanan kayak terjun bebas. Hidup serasa manis, kayak mengulum cokelat,” jelasnya sama teman-teman.
Tapi perasaan hampa itu sebenarnya merupakan proses pengalihan. Joy sedang merasa hidup seorang diri. “Hidup di lingkungan ramai yang sunyi sekali,” katanya mengeluh. Dia bahkan tak pernah mengerti arti hidup.
“Joy, Joy! Gue nggak percaya orang seperti kamu merasa sangat kesepian! Arti hidup kan bisa dibeli dengan uang?” ledek Miko, teman sekelasnya.
Curhat Joy selalu jadi bahan olokan. Soalnya Joy ‘gondrong’ yang suka nekat ini lebih nampak seperti manusia tanpa masalah.

Siang yang terik, ketika Joy masuk di pesawat yang beberapa kali ia tumpangi sebelumnya, seorang pramugari menegur ramah.
“Eh, kamu yang kemarin dari Singapura, ya?”

“Akan balik lagi ke sana.”
“Berapa lama?”
“Ntar malem kali, aku pasti balik lagi ke Jakarta.”
“Bisnis besar, ya?”
“Masak anak semester 2 bisa?”
“Lo?”
“Sederhana kok, Mbak. Aku pengen terjun bebas.” Kali ini dia menjawab pertanyaan pramugari itu dengan senyum tengilnya.
Si Pramugari terkekeh, merasa itu sebuah olokan yang nggak perlu ditanggapi berkepanjangan.
Tetapi ketika pesawat mulai naik di ketinggian dan suara gaduh di kokpit pesawat mengganggu penumpang, pramugari itu mulai terbengong. Dengan granat di tangan, Joy mengancam pilot dengan suara lantang. “Buka satu pintu dan aku akan terjun bebas!”
Siapa sih Joy ini? Doi adalah sedikit dari generasi yang lahir dari orde selebor. Kukuh di luar, remuk redam di dalam. Inikah refleksi kebebasan? Kebebasan berpikir?? Terlalu gila untuk orang-orang yang suka tantangan, terlalu biasa untuk orang-orang yang tak pernah mengerti arti hidup. Apa boleh buat, ngga bisa apa-apa kan kita nolongnya?



Surabaya, Mei 2004
Sla ‘04
.........................Hidup ini indah?
......................??....Hidup ini indah?
....................???….......Hidup ini indah?
...............????...............hidup ini indah?
...............????..................hidup ini indah?
......................................hidup ini indah?
........................................hidup ini indah?
........................................hidup ini indah?
.......................................hidup ini indah?
................................... hidup ini indah?
................................hidup ini indah?
...........................hidup ini indah?
...........................hidup ini indah?
...........................hidup ini indah?
..........................hidup ini indah?
..........................hidup ini indah?
.......................... hidup ini indah?


...............................hidup
............................ ini indah?
......................... hidup ini indah?
.........................hidup ini indah???
........................ hidup ini indah?
............................ hidup iniii
............................... indah?


Hidup ini indah???
Don’t worry
…ah always with us
ALL.. always with us.

Terperangkap

Sudah batang ke-17 hari ini. Bungkus kedua. Kutarik asap keparat itu, melesak ke dalam paru-paru. Agak sedikit tenang, tapi otakku tetap mati. Air mataku mengambang, perih lantaran kepulan asap di ruang ber-AC. Pun perih karena gigitan yang terus-menerus di dada.

Diam. Cuma itu yang bisa kulakukan. Kata tak lagi memihak, jadi untuk apa dikeluarkan??
Aku terduduk di salah satu sudut ruangan. Terpojok.
Memutar-mutar jaring kenangan gila dan rencana-rencana untuk hari nanti.
Rencana dan kenangan: jaring yang satu dan sama yang dirancang untuk menjerat hidup_hidup tak seperti yang kau pahami!!
Tapi aku tak pernah menginginkan . hidup sebagai jeratan ini. aku cuma ingin yang kini_dan_disini, sini yang dengan segera menjadi sana. ”tanpa perubahan”

”Apa aq telah mengganggu hidupmu?dan orang-orang sebelummu?” tanya gadis cilik itu padaku
”tidak.......” kataku pelan.
Tapi.... mungkin benar apa kata gadis cilik itu sesekali waktu, batinku
”Tapi aku melihat hatimu mengagguk.” ucap gadis cilik itu.
Aku Cuma diam.
”Maaf” katanya sambil berlalu.

Beberapa waktu lalu, memang aku mengungkapkan isi hatiku..... Bahwa kehadirannya dalam golongan minoritas itu telah merubah tatanan yang sudah ada. Bahwa waktu adalah ketika malam benar-benar hidup. Ketika banyak suara bergema menciptakan keajaiban. Keajaiban yang muncul dari renungan yang mahal. Bahwa ada sesuatu yang berubah di rumahku. Sesuatu yang berhubungan dengan kendali dan rasa nyaman... Sangat banyak.

Aku kembali melihat bayanganku.
Di sini aku merasakan perbedaan.
Menjadi saksi bisu perubahan.
Di sini.
Masih seorang mahasiswa
-status yang paling membanggakan-
Bebas-lepas-tak terbatas
Karena......
-bukankah selalu ada maaf untuk mahasiswa?-

Dia SMS...., ” Dalam rangka menghindari diri dari rasa bersalah_(karena perasaan bersalah adalah jantung persoalan dari 9 diantara 10 orang yang terdiagnosa kanker di Amerika hari ini). Aku juga tak tahu, kenapa ada di sini....Lalu aku harus bagaimana???”
Tak kujawab.
Kuselesaikan batang ke-22. Tiga jam dalam diam. Meninggalkan gadis kecil dalam kebingungan....mengambang dalam rasa yang tak pasti.....

"sayang"

Sla masih terjaga. Untuk malam selarut ini, bisa dikatakan Sla ”tak bisa tidur”. Tubuhnya terbujur miring dan matanya masih lekat pada tembok di depannya. Pantulan lampu pada lemari tua membuat kamar itu berwarna orange gelap semu coklat. Sla benar-benar merasa asing. Mungkinkah ini dimensi lain??
Di sampingnya berbaring seseorang yang tak kalah asingnya. Pilihannya berbaring menghadap tembok adalah sedikit cara untuk mengakali sedikit ketakutannya. Ketakutan yang terus mengepungnya, menggelayut berat di pundaknya. Ini sudah hari ke 3. Tapi ketakuatan itu terus saja bergelayut di benaknya. Ketakutan pada keterbatasan yang tak peka, pada sekedar ruang yang ada, pada sekedar hal-hal yang tak ada.
sLa duduk semeja dengannya. Mata orang itu lekat padanya. Orang itu serius secara aneh, jarang diam tapi penuh harap dalam diamnya. Kuakui memang dia punya sesuatu yang menabjubkan, bahwa pada wajahnya. Kerut-kerut ketuaan itu menampakkan tidak sedikit jejak pengalaman atau pengetahuan. Kerut-kerut itu bukan sekedar keriput kecil dan lunak. Sedang tatapannya, tatapan itu memiliki kepercayaan yang lahir dari rasa tak berdosa sedikitpun.
“Dia adalah ibu dari ibuku.” Batinnya lirih
Sekarang Sla merasa tak kenal.... Apa dia sama dengan ibuku? Ibu yang menyediakan kesempatan tanpa mengaharap balasan, bagaimana mengambil manfaat dari kedekatan tanpa membuat semangat tumpul karena kebiasaan.
“Aku sayang pada ibuku. Ibu pernah bercerita padaku tentang mimpinya yang selalu diulang. Mimpi tentang masa kecilku, masa-masa lucu. Masa ketika ibuku harus menanamkan banyak nilai kehidupan dalam diriku tentang apa yang baik dan buruk. Terlibat banyak masalah karena aku. Tapi kurasa beliau menikmatinya. Dan selalu membuatku merasa aman_menjadi anaknya_. Seingatku ibuku tak pernah mengekangku. Ia adalah seorang wanita yang kuat. Ia bukan seorang ibu yang suka mengeluh sehingga anak pun tumbuh dengan cara berpikir positif.” Ucap sLa berbicara pada dirinya sendiri.
“Apa nenek juga seperti ibu???”
Setahuku tidak....
Tapi kurasa ibuku selalu menyayangi nenek.
Entahlah.
Banjir emosi yang membingungkan menyapa diri sLa.

Dia adalah ibu dari ibuku. Umurnya 78 tahun dan berbaring di ranjang. Jantungnya, mesin kehidupan itu, sama tuanya dan tak akan mampu lagi melaksanakan tugas-tugas tertentu. Jantung tua itu masih membanjiri kepalanya dengan cahaya akal. Tapi jantung tua itu juga masih mengijinkan kedua kakinya untuk memikul beban tubuhnya yang kurus untuk berkeliling rumah. Lepas dari segala metaforku, kemampuan itu dimiliki berkat semangatnya yang luar biasa.

Benar-benar wanita kuat. Bertahun-tahun kesepian telah mengajarinya bahwa dalam kenangan seseorang, semua hari akan cenderung tampak sama saja, tapi juga tak satu pun hari, bahkan sebuah hari di penjara atau di rumah sakit, yang tak membawa kejutan-kejutan minimal. Dalam kurungan-kurungan lainnya, ia telah menyerah pada rayuan untuk menghitung hari dan jam yang berlalu, tapi kurungan kali ini tiada memiliki akhir-kecuali jika suatu pagi angin membawa hawa kematian seorang...

sLa sadar. Selama ini tak ada kata sayang untuk nenek. Kalau boleh memilih, dia akan lebih memilih menjadi anak kecil yang hanya akan menangis ketika neneknya pulang. Tapi manis asam dunia telah memberinya pengetahuan. Pengetahuan yang membuat hubungan berjarak dan jarak yang semakin merenggang. Entah....sampai kapan.....

Senin, 05 Januari 2009

Obrolan Langit

Lara percaya pada-Nya, seperti ia percaya pada atap rumahnya: ia tidak dapat melihat atap itu jika sedang berada di bawahnya, tapi ia tahu bahwa atap itu melindunginya.
Lara percaya pada-Nya seperti ia percaya pada tujuh lapis langit: ia tak dapat melihat langit itu jika sedang berada di bawahnya, tapi ia tahu bahwa langit itu melindungi bumi tempat ia hidup. Ia percaya padanya lebih dari apa pun di dunia ini
“Mama, apa langit akan memanggilku?” Tanya Lara sambil memandangi langit dari sudut tempat tidurnya.
“Kenapa Lara berpikir seperti itu.” Mamanya tercengang dan pandangannya beralih pada putri kecilnya.
“Langit begitu gelap, hitam dan besar. Lara kecil ma, Lara tak bisa lari. Jadi mungkin langit tak butuh waktu yang lama untuk menelanku ke dalam perutnya.“ Lara tak bergeming matanya terus menatap ke langit.
„ Langit tidak jahat Lara.....“
„Tapi dia bisa marah kan Ma? Bahkan tadi pagi, langit menangis. Kemarin iya. Kemarin2 nya iya...air matanya menghanyutkan rumah-rumah”
” Lara tahu apa yang membuat langit menangis?”
” karena sedih.” ucapnya lirih.
Mamanya mengangguk .“Lara tahu apa yang membuatnya sedih?“
Hening. Lara mengernyitkan alisnya.
„Lara tidak tahu ma.....Apa mama tahu?“
”Mama sebenarnya juga tidak tahu. Tapi menurut mama, mungkin karena manusia tidak mempedulikannya lagi.”
”Aku peduli padanya.”
”Buktinya apa?”
”Setiap malam aku memandanginya.”
Mama Cuma senyum.
”Mama.....kalau langit sedih, apa langit juga tidak mau makan?? Nanti bagaimana kalau langit sakit, langit tidak kuat berdiri lagi dan langit jatuh. Pasti kita semua akan tertimpa dia semua. Langit kan besar ya, Ma.”
” Tidak sayang, langit tidak selemah itu. Dia akan selalu bertahan, dan melindungi bumi, melindungi kita. Karena memang dia diciptakan untuk itu.”
”Lara sayang, lara harus tidur ini sudah malam.”
”Ma......”
”Apa sayang?”
”Lara capek ma.” Jadi kalau nanti langit menelanku biarkan saja ya Ma....
Lara ga boleh ngomong gitu. Langit tidak jahat lara.....
Iya, Lara tahu. Mama tadi sudah memberitahuku. Justru itu, langit tidak jahat......
Lantas apa untungnya langit menelan Lara?
”Mungkin aq bisa dijadikan bintang yang menerangi langit Ma.” Wajahnya berseri
Dan mungkin aq bisa melongok ke luar bumi. Di sana ada apa ya Ma?
Mama bercerita :
”dan sesungguhnya kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (dari langit) dan kami telah menghiasi langit itu bagi orang yang memandang(nya).
Dan kami menjaganya dari tiap-tiap setan yang terkutuk.
Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat di dengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang (15: 16-18)
”Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatkannya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api (72:8)
Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu), tentu akan menjumpai panah api yang mengintai untuk membakarnya. (72:9)
Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka (72:10)

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (67:3)

Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah (67:4)
Sesungguhnya kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan kami jadikan bintang-bintang itu alat pelempar setan dan kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala (67:5)
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (94:8)


Selebihnya.....Mama tidak tahu.....Lara.
“Ma, kalau langit tidak menelanku, aq yang akan terbang ke sana. mungkin kalau aq di atas sana. Aku hanya akan melihat bumi ini jadi kecil. Aq tidak akan memikirkan orang-orang yang menjauhiku dan meninggalkanku. Dari langit Aq tidak akan sedih memikirkan dunia yang kecil ini.”
"Apa mama boleh ikut terbang bersamamu, sayang”
“Tentu saja boleh. Bahkan aku tadi sudah berniat menajak mama terbang bersamaku. Tapi apa nanti mama tidak dicari ibu-ibu tetangga?”
“Sudah sayang, Lara harus tidur sudah malam.Mama sayang Lara. Lara jangan pergi ke mana-mana” sambil menahan tetesan air mata yang mau tumpah.
“ Lara juga sayang mama.”
Mama menutup selimut ke tubuh mungil Lara. Tubuh tanpa dua lengan dan tanpa dua kaki.
Ibu mana yang tak akan meneteskan air mata ketika melihat tubuh anaknya tak lengkap seperti itu sejak lahir. Aliran air hangat telah membasahi wajah mamanya. Lara....mama akan selalu jadi langitmu. ”Langit yang melindungimu......sepenuh hati”
Bulan Cuma segaris lengkung
Bintang berkedip
Langit terpejam
Seolah telah meneteskan air mata
Ketika saatnya tiba, aq tahu apa yang harus kumiliki sebelum jiwaku beristirahat dalam tenang.

”Ma....Lara capek........”
Bintang-bintang pagi menari dalam sebuah lingkaran merah, menyanyikan sebuah lagu tentang kehidupan dan kematian sekaligus .
Malaikat Jibril dan Izrail berdiri di hadapannya.
Sayap-sayap birunya memancarkan cahaya bintang gemintang
Mulut sang malaikat terbuka lebar dan berbagai catatan keluar ke sana, masing-masing catatan itu dalam warna-warni yang berbeda-beda....

Ketika waktunya tiba.....
Maka....
Dunia hanyalah rangkaian pahala dan dosa. Hanyalah jalan menuju surga atau neraka.

Pengikut

Kerlap Kerlip Art